Monday, March 5, 2012

Pengertian ijab qabul

Akad merupakan perjanjian yang dilakukan antara dua pihak yang akan melaksanakan perkawinan yang diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab yaitu pernyataan dari pihak perempuan yang diwakili oleh wali, sedangkan qabul yaitu pernyataan menerima keinginan dari pihak pertama untuk menerima maksud tersebut.
Pada hakikatnya ijab adalah suatu pernyataan dari perempuan untuk mengikatkan diri dengan seorang laki-laki untuk dijadikan sebagai suami yang sah, Sedangkan qabul adalah pernyataan menerima dengan sepenuh hati untuk menjadikan seorang perempuan tersebut menjadi istri yang sah.
Sebagai contoh ijab dari wali perempuan dengan ucapan “saya nikahkan engkau dengan anak saya yang bernama....dengan maskawin....”. Dan mempelai pria atau wakilnya menjawab dengan perkataan (qabul) “saya terima nikahnya .....dengan maskawin.....(tunai/....)”.
Mengenai akad nikah yang berupa ijab dan qabul antara lelaki yang melamar dan wanita yang dilamar para ulama sepakat bahwa hal tersebut (ijab dan qabul) merupakan salah satu rukun dari pernikahan.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seseorang yang akan menikah untuk mengucapkan akad nikah yang berupa ijab yang dilakukan oleh wali dari pihak perempuan dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya dengan ketentuan mempelai pria harus memberikan kuasa yang tegas dan secara tertulis bahwa ia (calon mempelai pria) mewakilkan akad pernikahannya pada wakilnya.
Dan perlu diketahui bahwa ijab dan qabul dalam sebuah perkawinan bukan hanya sekedar perjanjian yang bersifat keperdataan, akan tetapi lebih dari itu, yaitu suatu perjanjian yang kuat yang bukan hanya disaksikan oleh orang yang menghadirinya akan tetapi disaksikan oleh allah.
Mengenai akad pernikahan tidak diatur dalam UU perkawinan, namun KHI secara jelas telah mengaturnya yaitu pada pasal 27, 28, dan 29 yang tentunya semuanya berdasarkan kitab-kitab fiqh yang ada.
Adapun rumusan pasal tersebut adalah:
Pasal 27
Ijab dan qabul antara wali dan mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu
Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan secara sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan pada orang lain
Pasal 29
1) Yang berhak mengucapkan qabul adalah calon mempelai pria secara pribadi
2) Dalam hal tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan oleh pria lain dengan ketentuan mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria
3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
b. Lafaz yang digunakan dalam ijab qabul
Para ulama ahli fiqh berbeda pendapat mengenai redaksi yang digunakan dalam melaksanakan ijab dan qabul diantaranya:
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad diperbolehkan dengan segala redaksi yang di dalamnya mengandung maksud untuk menikah, dan walaupun dengan menggunakan lafal al-tamlik (pemilikan), al-hibah (penyerahan), al-bay’ (penjualan), al-‘atha’ (pemberian), al-ibahah (pembolehan), dan al-ihlal (penghalalan). Yang pada intinya akad tersebut mengandung qarinah yang berhubungan atau menunjukkan arti nikah. Dan masih menurutnya suatu akad tidak sah apabila menggunakan lafal al-ijarah (upah), atau al-‘ariyah (pinjaman).
Sedangkan Imam Malik dan Imam Hambali berpendapat bahwa akad nikah dianggap sah apabila menggunakan lafal al-nikah dan al-zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Dan diperbolehkan menggunakan lafal al-hibah dengan syarat harus disertai dengan penyebutan maskawin. Dan beliau berpendapat bahwa selain lafal-lafal tersebut maka akad dihukumi tidak sah. Mengenai Dalil diperbolehkannya akad nikah dengan

"dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi mau mengawininya"

Sementara itu, Imam Syafi’i berpendapat redaksi akad harus menggunakan lafal al-tazwij dan al-nikah serta lafal-lafal bentukannya saja, selain dari kedua lafal tersebut maka akad nikah dianggap tidak sah.
Selain itu mazhab Imamiyah mengatakan bahwa ijab harus menggunakan lafal zawwajtu atau ankahtu dan harus dalam bentuk madhi, akad tidak diperbolehkan menggunakan lafal selain bentuk madhi karena inilah yang memberi kepastian.
Dalam hal pelaksanaan akad ulama Imamiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan kesegeraan dalam melaksanakannya, maksudnya qabul harus dilakukan segera setelah ijab dan tidak terpisah (dengan perkataan lain).
Sementara itu Imam Malik berpendapat bahwa pemisahan yang sekedarnya tetap diperbolehkan, seperti dipisahkan oleh khutbah nikah yang pendek dan sejenisnya.
Dan perlu diketahui bahwa berdasarkan hukum asalnya ijab itu datangnya dari pihak perempuan sedangkan qabul datangnya dari pihak laki-laki, andaikata qabul didahulukan di mana pengantin laki-laki yang mengatakan pada wali dan wali menjawab atau menerima pernyataan tersebut (qabul) Imamiyah dan mazhab tiga lainnya menyatakan sah, sedangkan Imam Hambali mengatakan tidak sah.
c. Syarat Bagi Kedua Pihak Yang Melakukan Akad Nikah
Ulama sepakat mengenai syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melaksanakan suatu akad pernikahan yaitu: berakal dan baligh, selain itu disyaratkan pula bahwa kedua mempelai harus terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat keduanya diharamkan untuk menikah, baik karena disebabkan oleh adanya hubungan keluarga maupun hubungan lainnya, baik yang bersifat permanen atau sementara.
Syarat yang selanjutnya yaitu dalam melakukan akad harus pasti dan jelas orangnya, dan syarat yang terakhir ulama sepakat tidak diperbolehkan adanya paksaan dalam melaksanakan akad, kecuali Imam Hanafi yang memperbolehkan adanya paksaan dalam melakukan akad.

0 comments:

Post a Comment