Thursday, April 5, 2012

asas Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan

Menurut Hukum Islam
Prinsip-prinsip perkawinan yang terdapat dalam ajaran Islam antaranya:
1. Harus mengetahui oleh kedua belah pihak, yaitu dimulai dari peminangan sebagia sinyal bahwa kedua belah oihak sudah setuju untuk di langsungkannya perkawinan

2. Bagi pria, tidak semua wanita dapat dikawininya, kerena ada ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan
3. Perkawinan akan dilaksanakan jika persyratan-persyaratan tertentu sudah terpenuhi dari kedua belah pihak
4. Tujuan dasar dari perkawinan itu sendiri adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga yang tentram, damai dan kekal selamanya
5. Suami sebagai peminpin dalam keluarga, namun hak dan kewajiban harus seimbang antara suami dan istri dalam keluarga

Menurut Undang-undang
1. Suami istri harus saling membantu dan melengkapi untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal, yaitu kesejahteraan spiritual dan material
2. Perkawinan dianggap sah bilamana dilakukan menurut hkum masing-masing agama, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan.
3. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
4. Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.

Friday, March 30, 2012

Lafaz yang digunakan dalam ijab qabul

Para ulama ahli fiqh berbeda pendapat mengenai redaksi yang digunakan dalam melaksanakan ijab dan qabul diantaranya:
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad diperbolehkan dengan segala redaksi yang di dalamnya mengandung maksud untuk menikah, dan walaupun dengan menggunakan lafal al-tamlik (pemilikan), al-hibah (penyerahan), al-bay’ (penjualan), al-‘atha’ (pemberian), al-ibahah (pembolehan), dan al-ihlal (penghalalan). Yang pada intinya akad tersebut mengandung qarinah yang berhubungan atau menunjukkan arti nikah. Dan masih menurutnya suatu akad tidak sah apabila menggunakan lafal al-ijarah (upah), atau al-‘ariyah (pinjaman).
Sedangkan Imam Malik dan Imam Hambali berpendapat bahwa akad nikah dianggap sah apabila menggunakan lafal al-nikah dan al-zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Dan diperbolehkan menggunakan lafal al-hibah dengan syarat harus disertai dengan penyebutan maskawin. Dan beliau berpendapat bahwa selain lafal-lafal tersebut maka akad dihukumi tidak sah. Mengenai Dalil diperbolehkannya akad nikah dengan menggunakan lafal al-hibah didasarkan pada QS. 33: 50 yaitu:

"dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi mau mengawininya"

Sementara itu, Imam Syafi’i berpendapat redaksi akad harus menggunakan lafal al-tazwij dan al-nikah serta lafal-lafal bentukannya saja, selain dari kedua lafal tersebut maka akad nikah dianggap tidak sah.
Selain itu mazhab Imamiyah mengatakan bahwa ijab harus menggunakan lafal zawwajtu atau ankahtu dan harus dalam bentuk madhi, akad tidak diperbolehkan menggunakan lafal selain bentuk madhi karena inilah yang memberi kepastian.
Dalam hal pelaksanaan akad ulama Imamiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan kesegeraan dalam melaksanakannya, maksudnya qabul harus dilakukan segera setelah ijab dan tidak terpisah (dengan perkataan lain).
Sementara itu Imam Malik berpendapat bahwa pemisahan yang sekedarnya tetap diperbolehkan, seperti dipisahkan oleh khutbah nikah yang pendek dan sejenisnya.
Dan perlu diketahui bahwa berdasarkan hukum asalnya ijab itu datangnya dari pihak perempuan sedangkan qabul datangnya dari pihak laki-laki, andaikata qabul didahulukan di mana pengantin laki-laki yang mengatakan pada wali dan wali menjawab atau menerima pernyataan tersebut (qabul) Imamiyah dan mazhab tiga lainnya menyatakan sah, sedangkan Imam Hambali mengatakan tidak sah.
c. Syarat Bagi Kedua Pihak Yang Melakukan Akad Nikah
Ulama sepakat mengenai syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melaksanakan suatu akad pernikahan yaitu: berakal dan baligh, selain itu disyaratkan pula bahwa kedua mempelai harus terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat keduanya diharamkan untuk menikah, baik karena disebabkan oleh adanya hubungan keluarga maupun hubungan lainnya, baik yang bersifat permanen atau sementara.
Syarat yang selanjutnya yaitu dalam melakukan akad harus pasti dan jelas orangnya, dan syarat yang terakhir ulama sepakat tidak diperbolehkan adanya paksaan dalam melaksanakan akad, kecuali Imam Hanafi yang memperbolehkan adanya paksaan dalam melakukan akad.

Thursday, March 15, 2012

A. Ukuran Kedewasaan Calon Suami Istri

Tidak ada ketentuan pasti tentang ukuran kedewasaan dan usia ideal dalam pernikahan. Namun ukuran kedewasaan seseorang biasanya ditentukan dengan masa balig, yaitu menstruasi untuk wanita dan mimpi basah (keluarnya sperma) untuk pria. Namun masa baligh untuk pria dan wanita cenderung berbeda. Masa baligh pria cenderung lebih lambat sekitar 3-5 tahun. Disaat wanita sudah mengalami menstruasi, para pria remaja masih asyik dengan main layang-layang, kelereng atau minum susu kotak.
Masa baligh akan mempengaruhi dalam prilaku terhadap lawan jenisnya. Rasa ketertarikan mulai tumbuh. Efek sampingnya berupa kangen, cemburu, benci dan dendam. Tergantung masing-masing menyikapinya.
Selain dilihat dari masa baligh, kedewasaan seseorang juga bisa ditinjau dari faktor usia. Di Indonesia setelah lahirnya Undang-Undang Perkawinan telah ditentukan bahwa perkawinan hanya di izinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah berusia 16 tahun. Penyimpangan batasan umur ini dapat dimintakan dispensasi kepada pengadilan oleh kedua belah pihak orang tua pria dan perempuan.
Kemudian kedewasaan seseorang juga bisa dilihat dari beberapa faktor lain, faktor lingkungan dan keluarga juga dapat mempengaruhi kedewasaan seseorang. Contohnya saja, anak tunggal atau anak bungsu cenderung manja walaupun umurnya sudah tua, dan sebaliknya seorang anak kecil akan mendadak dewasa manakala mengalami cobaan hidup berat, misalnya anak yatim piatu atau fakir miskin.
Terkait dengan usia dewasa, usia itu sangat menitik beratkan pada segi kesehatan, kematangan biologis sehingga sebaiknya usia pria minimal 25 tahun dan wanita 20 tahun karena usia ini dipandang memasuki tahapan awal. Hingga timbul teori pernikahan dikalangkan masyarakat, bahwa selisih umur pasangan suami istri adalah 3-5 tahun dimana pria lebih tua. Logikanya makin tinggi usia nikah maka makin matang pula aspek fisiknya dan lebih siap untuk melakukan proses reproduksi.
Selain itu, usia 21 juga merupakan awal usia kedewasaan dengan pertambahan usia ini diharapkan keadaan psikologis dan kepribadiannya semakin matang.

B. Urgensi Kedewasaan Calon Mempelai dalam Pernikahan
Pernikahan adalah masalah penting dalam menentukan kebahagiaan rumah tangga, dimana hal itu menuntut adanya persiapan mental yang matang dalam membina rumah tangga karena pasangan suami istri tidak akan mampu melaksanakan tujuan perkawinan sebelum mereka mencapai usia dewasa.
Hubungannya dengan faktor psikologis, kedewasaan dan kematangan kepribadian sangat diperlukan, karena banyak kasus keretakan rumah tangga terjadi akibat pernikahan usia dini, dimana kedua belah pihak masih rentan dan masih belum mampu mandiri dalam memikul tanggung jawab keluarga.
Dalam pernikahan yang perlu diperhatikan bukan saja kematangan fisik dan psikologis namun juga faktor sosial, khususnya kematangan sosial ekonomi. Seseorang yang telah berani membentuk rumah tangga berarti berani pula menghidupi anak dan istrinya. Dan jika kematangan ekonomi belum dipenuhi biasanya akan menimbulkan persoalan dikemudikan hari yang berdampak pada keretakan hubungan suami istri.
H. S. A al Hamdani (Risalah Nikah; 2002) mengatakan bahwa kewajiban orang tua adalah mendidik anak, mempersiapkan mereka supaya dapat mempersiapkan diri dalam membina rumah tangga sejahtera hidup bahagia, bukan rumah tangga yang di dukung oleh mereka yang belum tahu urusan agama dan dunia mereka. Mereka di kawinkan hanya untuk kepentingan materi, seperti supaya mendapatkan warisan dan lainnya. Perkawinan yang awalnya jelek akibatnya pun jelek, hanya akan menimbulkan penyesalan, kesengsaraan, kekacauan rumah tangga, penderitaan tiada akhir, dan tidak akan berlangsung lama.

C. Dampak Pernikahan Yang Mengabaikan Kedewasaan
Adanya aturan mengenai pemberian batas usia minimal seseorang bukanlah tanpa alasan yang jelas, hal ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan keluarga yang bersangkutan terutama pihak perempuan. Dijelaskan oleh Moh. Jusuf Hanafiah (dikutip Nani Soewondo) dalam pidatonya mengemukakan antara lain:
1. Sebagai faktor-faktor yang menurut penelitian dapat menimbulkan kanker leher rahim (KLR) pada wanita ialah di antaranya kawin pada usia muda/ coitus pada usia muda.
2. Dalam hubungannya dengan UUP yang menetapkan batas umur kawin 16 tahun untuk wanita, dapat menimbulkan kerugian sebagai berikut:
a. Pada usia 16 tahun seorang wanita sedang mengalami masa pubertas bahkan ada di antara mereka yang baru pertama kali mendapat haid. Sehingga pada usia 16 tahun sebenarnya mereka belum siap mental dan fisiknya untuk menjadi ibu rumah tangga.
b. Pada usia 16 tahun berarti bahwa wanita tersebut paling tinggi baru memperoleh pendidikan 9 tahun dan sebagian besar putus sekolah setelah berumah tangga. Padahal pendidikan pada wanita mempengaruhi berbagai hal, di antaranya pendidikan anak-anak dan keberhasilan program keluarga berencana serta ke pendudukan.
c. Kawin pada usia muda memberikan peluang kepada wanita belasan tahun untuk hamil dengan risiko tinggi, karena pada kehamilan wanita usia belasan tahun komplikasi-komplikasi pada ibu dan anak seperti anemia, praeklamasi, oklamei, abortus, paratur prematurus, kematian, printal, pendarahan dan tindakan operasi obstetrik lebih sering dibandingkan dengan golongan umur 20 tahun ke atas.
d. Kawin pada usia muda berarti memperpanjang kesempatan reproduksi. Sedangkan menunda perkawinan berarti memperpendek masa reproduksi. Dengan menunda perkawinan dan hidup berkeluarga kecil, maka akan jelas pengaruhnya terhadap laju pertumbuhan penduduk.

Namun pada referensi lain, bahwa calon suami atau istri harus berusia minimal 19 tahun, karena kematangan usia tersebut idealnya berupa hasil akumulasi kesiapan fisik, ekonomi, sosial, mental dan kejiwaan, serta agama dan budaya. Perkawinan membutuhkan kematangan yang bukan sekedar bersifat biologis, tetapi juga kematangan psikologis dan sosial. Sehingga tidak perlu adanya perbedaan tingkat usia antara laki-laki dan perempuan, karena perbedaan umur terutama perbedaan yang sangat senjang mengandung potensi pemerasan dan eksploitasi dari satu pihak. Karena mematok batas usia minimal tersebut supaya tidak bertentangan dengan UU No.4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yang disebutkan dalam pasal 1 ayat 2, bahwa: anak adalah seorang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
Seperti keterangan di atas, mengapa perempuan harus menikah setelah usia 19 tahun, karena kawin pada usia dini bagi perempuan rentan menimbulkan risiko, baik bersifat biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi, kehamilan muda dan risiko psikologis berupa ketidakmampuan mengemban fungsi-fungsi reproduksi dengan baik. Di mana Indonesia tercatat sebagai negara yang sangat tinggi angka kematian ibu melahirkan. Hal ini bukan hanya karena faktor kekurangan gizi dan kurang sehatnya organ-organ reproduksi,tetapi juga masih kurang tepatnya dalam pemahaman keagamaan.
Padahal Nabi Saw sendiri menikah pada usia 25 tahun. Mengapa tradisi teladan yang baik tidak menjadi contoh bagi umatnya?...

Wednesday, March 7, 2012

AZAS DAN PRINSIP-PRINSIP PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM

Perkawinan adalah sunatullah, atau hukum alam di dunia yang dilakukan oleh setiap mahluk yang Allah jadikan secara berpasang-pasanga, sebagaimana firman Allah dalam surat Yasin ayat 36.

Menuasia adalah makhluk yang Allah ciptakan lebuh mulia dari makhluk yang lainnya sehingga karenanya Allah telah menetapkan adanya aturan dan tata cara secara khusus sebagai landasan untuk mempertahakan kelebihan derajat yang namanya makhluk menuasia disbanding dengan jenis makhluk lainnya.

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka teori resepsi seperti yang diajarkan di Zaman Hindia Belanda menjadi hapus dengan sendirinya.

Teori resepsi adalah teori yang menyatakan bahwa Hukum Islam baru berlaku di Indonesia untuk penganut agama Islam apabila sesuatu Hukum Islam telah nyata-nyata diresapi oleh dan Hukum adat, maka dengan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Perkawinan ini tidak ada keragua-raguan untuk menerima dalil bahwa Hukum Islam telah langsung menjadi sumber hukum tanpa memerlukan bantuan atau peraturan Hukum Adat.

Disamping pendapat tersebut diatas, ada juga pendapat yang dikemukakan bahwa sebetulnya teori resepsi itu baik sebagai teori maupun sebagai ketetapan dalam pasal 134 ayat 2 Indisce Staatsregeling telah terhapus dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945.

Hal ini bisa kita lihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 19 ayat 2 yang memuat ketentuan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya. Dari ketentuan pasal 29 ayat 2 tersebut diatas. Maka pemerintah berhak untuk mengatur persoalan-persoalan tertentu berdasarkan Hukum Islam, sejauh mana peraturan-peraturan itu diperuntukan bagi warga negara yang beragama Islam. Jadi berlakunya Hukum Islam bagi warga negara Indonesia yang beragam Islam tidak usah melihat apakah hukum Islam telah menjadi hukum adat atau belum

Mengenai berlakunya Hukum Islam di Indonesia dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaanya, apabila ditinjau secara sepintas dapat dianggap tidak berlaku lagi, karena dengan berlakuknya peraturan perundang-undangan tersebut diatas, maka sejak 1 Oktober tahun 1975 hanya ada satu peraturan perkawinan yang berlaku untuk seluruh wargan negara Indonesia tanpa melihat golongannya masing-masing. Hal ini dengan tegas disebut dalam pasal 66 Undang-Undang perkawinan yang menentukan bahwa dengan berlakunya Undang-undang ini maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Perdata (Burgerlijk Wetbook), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesier Stb. 1933 Nopember. 74), Peraturan Ordonantie Campuran, Gereling op Desember Gemengde Huwelijk Stb. 1898 Nopember. 158, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Anggapan yang menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan ini, hukum perkawinan Islam tidak berlku lagi adalah tidak tepat, sebab menurut ketentuan dalal pasal 66 tersebut diatas yang dianggap tidak berlaku bukanlah peraturan-peraturan tersebut diatas secara keseluruhan melainkan hanyalah hal-hal yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan ini, dalam hal-hal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang Perkawinan ini masih tetap berlaku.

Disamping ketentuan tersebut diatas tentang masih tetap berlakunya hukum Perkawinan Islam bagi mereka yang beragama Islam, secara tegas disebutkan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan adalah sah pabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dengan demikian maka hal-hal yang belum diatur dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan ini. tetap berlaku menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, maka bagi warga negara Indonesia yang beragam Islam yang hendak melakukan perkawinan supaya sah harus dilaksanakan menurut ketentuan hukum perkawinan Islam.

Dengan demikian maka maka pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan ini dapat dipakai sebagai dasar hukum berlakuknya hukum perkawinan Islam di Indonesia sebagai peraturan-peraturan khusus disamping peraturan-peraturan umum yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, untuk wargan negara Indonesia yang beragama Islam.

Hukum Perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci. Hukum Perkawinan Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur tatacara pelaksanaan perkawinan saja, melainkan juga segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan, misalnya: hak-hak dan kewajiban suami istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusnya perkwinan, Pemeliharaan anak, nafkah anak, pembegian harta perkawinan dan lain-lain.

Dengan melakukan perkawinan yang sah dan dapat terlaksana pergaulan hidup manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan wanita secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat diantara makhluk-makhluk Tuhan yang lain.

Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk suatu rumah tangga dimana dalam kehidupan rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan tentram suami istri.

Dengan melaksanakan perkawinan yang sah, dapat diharapkan memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam keluarga dan keturunannya dapat berlangsung terus jelas dan bersih.

Dengan terjadimnya perkawinan, maka timbulah sebuah keluarga yang merupakan inti dari pada hiduip bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan timbul suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam suasana damai.

Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, adalah merupakan salah satu ibadah bagi umat Islam.

Monday, March 5, 2012

Pengertian ijab qabul

Akad merupakan perjanjian yang dilakukan antara dua pihak yang akan melaksanakan perkawinan yang diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab yaitu pernyataan dari pihak perempuan yang diwakili oleh wali, sedangkan qabul yaitu pernyataan menerima keinginan dari pihak pertama untuk menerima maksud tersebut.
Pada hakikatnya ijab adalah suatu pernyataan dari perempuan untuk mengikatkan diri dengan seorang laki-laki untuk dijadikan sebagai suami yang sah, Sedangkan qabul adalah pernyataan menerima dengan sepenuh hati untuk menjadikan seorang perempuan tersebut menjadi istri yang sah.
Sebagai contoh ijab dari wali perempuan dengan ucapan “saya nikahkan engkau dengan anak saya yang bernama....dengan maskawin....”. Dan mempelai pria atau wakilnya menjawab dengan perkataan (qabul) “saya terima nikahnya .....dengan maskawin.....(tunai/....)”.
Mengenai akad nikah yang berupa ijab dan qabul antara lelaki yang melamar dan wanita yang dilamar para ulama sepakat bahwa hal tersebut (ijab dan qabul) merupakan salah satu rukun dari pernikahan.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seseorang yang akan menikah untuk mengucapkan akad nikah yang berupa ijab yang dilakukan oleh wali dari pihak perempuan dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya dengan ketentuan mempelai pria harus memberikan kuasa yang tegas dan secara tertulis bahwa ia (calon mempelai pria) mewakilkan akad pernikahannya pada wakilnya.
Dan perlu diketahui bahwa ijab dan qabul dalam sebuah perkawinan bukan hanya sekedar perjanjian yang bersifat keperdataan, akan tetapi lebih dari itu, yaitu suatu perjanjian yang kuat yang bukan hanya disaksikan oleh orang yang menghadirinya akan tetapi disaksikan oleh allah.
Mengenai akad pernikahan tidak diatur dalam UU perkawinan, namun KHI secara jelas telah mengaturnya yaitu pada pasal 27, 28, dan 29 yang tentunya semuanya berdasarkan kitab-kitab fiqh yang ada.
Adapun rumusan pasal tersebut adalah:
Pasal 27
Ijab dan qabul antara wali dan mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu
Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan secara sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan pada orang lain
Pasal 29
1) Yang berhak mengucapkan qabul adalah calon mempelai pria secara pribadi
2) Dalam hal tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan oleh pria lain dengan ketentuan mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria
3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
b. Lafaz yang digunakan dalam ijab qabul
Para ulama ahli fiqh berbeda pendapat mengenai redaksi yang digunakan dalam melaksanakan ijab dan qabul diantaranya:
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad diperbolehkan dengan segala redaksi yang di dalamnya mengandung maksud untuk menikah, dan walaupun dengan menggunakan lafal al-tamlik (pemilikan), al-hibah (penyerahan), al-bay’ (penjualan), al-‘atha’ (pemberian), al-ibahah (pembolehan), dan al-ihlal (penghalalan). Yang pada intinya akad tersebut mengandung qarinah yang berhubungan atau menunjukkan arti nikah. Dan masih menurutnya suatu akad tidak sah apabila menggunakan lafal al-ijarah (upah), atau al-‘ariyah (pinjaman).
Sedangkan Imam Malik dan Imam Hambali berpendapat bahwa akad nikah dianggap sah apabila menggunakan lafal al-nikah dan al-zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Dan diperbolehkan menggunakan lafal al-hibah dengan syarat harus disertai dengan penyebutan maskawin. Dan beliau berpendapat bahwa selain lafal-lafal tersebut maka akad dihukumi tidak sah. Mengenai Dalil diperbolehkannya akad nikah dengan

"dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi mau mengawininya"

Sementara itu, Imam Syafi’i berpendapat redaksi akad harus menggunakan lafal al-tazwij dan al-nikah serta lafal-lafal bentukannya saja, selain dari kedua lafal tersebut maka akad nikah dianggap tidak sah.
Selain itu mazhab Imamiyah mengatakan bahwa ijab harus menggunakan lafal zawwajtu atau ankahtu dan harus dalam bentuk madhi, akad tidak diperbolehkan menggunakan lafal selain bentuk madhi karena inilah yang memberi kepastian.
Dalam hal pelaksanaan akad ulama Imamiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan kesegeraan dalam melaksanakannya, maksudnya qabul harus dilakukan segera setelah ijab dan tidak terpisah (dengan perkataan lain).
Sementara itu Imam Malik berpendapat bahwa pemisahan yang sekedarnya tetap diperbolehkan, seperti dipisahkan oleh khutbah nikah yang pendek dan sejenisnya.
Dan perlu diketahui bahwa berdasarkan hukum asalnya ijab itu datangnya dari pihak perempuan sedangkan qabul datangnya dari pihak laki-laki, andaikata qabul didahulukan di mana pengantin laki-laki yang mengatakan pada wali dan wali menjawab atau menerima pernyataan tersebut (qabul) Imamiyah dan mazhab tiga lainnya menyatakan sah, sedangkan Imam Hambali mengatakan tidak sah.
c. Syarat Bagi Kedua Pihak Yang Melakukan Akad Nikah
Ulama sepakat mengenai syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melaksanakan suatu akad pernikahan yaitu: berakal dan baligh, selain itu disyaratkan pula bahwa kedua mempelai harus terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat keduanya diharamkan untuk menikah, baik karena disebabkan oleh adanya hubungan keluarga maupun hubungan lainnya, baik yang bersifat permanen atau sementara.
Syarat yang selanjutnya yaitu dalam melakukan akad harus pasti dan jelas orangnya, dan syarat yang terakhir ulama sepakat tidak diperbolehkan adanya paksaan dalam melaksanakan akad, kecuali Imam Hanafi yang memperbolehkan adanya paksaan dalam melakukan akad.

Saturday, February 25, 2012

PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makhluk tuhan yang paling mulia, semua orang dewasa berhak untuk menikah karena melanjutkan keturunan merupakan fitrah Tuhan. Pada dasarnya tujuan suatu pernikahan adalah untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warrahmah dan mendapatka keturunan yang berkualitas. Seperti yang di jelaskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1 tentang perkawinan, di mana yang di maksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk mencapai tujuan seperti yang di jelaskan di atas, maka pasangan calon suami istri yang akan melangsungkan pernikahan diharuskan dalam keadaan dewasa. Adapun kedewasaan yang dimaksud di sini yaitu seperti yang di jelaskan dalam UU No. 1 Th 1974 pasal 6, bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua. Karena jika dari kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan belum sampai umur 21 tahun, maka harus ada izin dari kedua orang tua, yang mana jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan dari pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Ditetapkannya batas minimal usia perkawinan itu karena ada banyak resiko yang akan di hadapi ke dua calon pasangan suami istri, baik risiko dari aspek kesehatan, psikologi serta sosial kemasyarakatan yang di jalani. untuk selebihnya moggo di download klik link dibawah ini